"Welcome in the Revolution"

selamat datang bagi siapa saja yang mengujungi blog ini, terbuka untuk siapa saja. kritik dan Saran Layangkan ke : (arfa_revolusi@yahoo.co.id). thanks....
Saiya bukan Dewa, apalagi Tuhan, jadi Hujat dan kritik saya!!

Thursday, July 3, 2008

Pajak untuk Rakyat atau Pajak yang Merakyat?

Sosialisasi yang kian gencar dilakukan oleh direktorat jendral pajak indonesia bisa kita lihat dimana-mana. Mulai dari iklan elektronik maupun sosialisasi terjun ke lembaga-lembaga pendidikan kampus. Sekedar mengingat tentang iklan dari Dirjen Pajak dengan motto “Apa kata dunia??” sebuah iklan yang menyesatkan dan kalau kita menganalisis secara cermat tidak ada logisme antara Pajak dan motto tersebut. Apa hubungannya antara membayar pajak dan perkataan dunia. Namun tulisan ini bukan mengkaji permasalahan iklan tersebut, hanya selayang pandang atas penggunaan bahasa dalam iklan yang akhir-akhir ini semakin menyesatkan dan tidak mendidik.

Pajak untuk Rakyat. Kata ini tepat digunakan untuk mengkaji secara fungsional dan struktural mengapa diciptakannya pajak di sebuah negara. Pajak didapatkan dari sistem perekonomian yang diciptakan oleh suatu negara dengan fungsi untuk mensejahterakan rakyat, baik itu berupa pembangunan fisik maupun non fisik. Secara garis besar pajak juga berfungsi sebagai pendapatan negara yang nantinya juga diperlukan untuk subsidi di setiap bidang yang diperlukan dalam suatu negara. Di Indonesia secara signifikan masyarakat belum dapat merasakan manfaat pajak itu untuk apa? Dan lebih parah lagi banyak yang menanyakan sebenarnya pajak itu berguna atau tidak. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai pajak dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia sendiri. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpercayaan nantinya akan menimbulkan ketidaksadaran maupun acuh tak acuh akan pajak tersebut. Ketidakpercayaan ini disebabkan oleh sifat-sifat manusia sendiri akan sebuah pandangan mengenai objek yang dilihatnya, seperti misalnya manusia tidak percaya akan sebuah bahaya merokok karena manusia (konsumen rokok) belum merasakan dampak dari bahaya nikotin yang langsung dirasakan, atau misalnya manusia yang terkena paku dikakinya lantas dia berkata “aduh” merasakan sakit bukan kepalang, yang kemudian manusia tersebut akan lebih berhati-hati dalam berjalan dengan menggunakan alas kaki. Ilustrasi diatas secara esensi mengemukakan bahwa untuk mencapai kesadaran akan sesuatu hal, manusia harus merasakan sendiri baik berbentuk pengalaman, pencarian (keingintahuan) ataupun secara reflektif. Dalam konteks pajak, dimana pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang sadar akan pajak, perlu adanya kesadaran yang mendorong seseorang untuk membayar pajak, baik itu dorongan dari pemerintah sendiri dan juga manusianya itu sendiri. Perlu adanya penekanan bahwa pajak dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk kepentingan rakyat. Mengapa demikian, karena paradigma kepentingan rakyat cenderung bersifat suatu golongan atau kelompok, berbeda jika itu “untuk rakyat” kata ini cenderung bersifat universal dan menyeluruh. Ini sangatlah penting untuk menciptakan kesadaran pajak di masyarakat, memang ini hanya permasalahan teks bahasa namun hal ini juga merupakan suatu pola-pola untuk merubah paradigma yang muncul di masyarakat dewasa ini.

Pajak yang Merakyat. Seperti yang kita rasakan pajak di Indonesia merakyat sekali, hal ini dimaksudkan adalah pajak di Indonesia hampir di setiap sektor kehidupan tidak luput dari perpajakan. Dari dalam kandungan hingga seseorang nantinya meninggal dunia bisa dikatakan diselimuti pajak dalam kehidupannya. Dimulai dari biaya rumah bersalin dan perawatan yang terkena pajak maupun nantinya jika seseorang meninggal dunia baik proses pemakaman dan penggunaan lahan untuk makam. Yang lebih anehnya lagi adalah pajak 10% atupun lebih untuk setiap makanan, tempat hiburan, tempat makan, dll, yang dibebankan kepada konsumen. Jika kita kritisi terasa aneh mengapa hal tersebut dibebankan kepada konsumen tidak dibebankan saja kepada perusahaan yang mengelolanya. Sebagai ilustrasi “ seseorang yang makan di sebuah kafe yang dikenakan pajak 10% dengan rincian biaya makanan Rp. 50.000 dan pajak 10% dari 50.000 = 5000, jadi dia harus membayar Rp. 55.000 pada kafe tersebut. Mengapa harus dibebankan kepada konsumen pajak tersebut, toh yang di untungkan adalah kafe, seharusnya pemerintah mebebankan saja kepada kafe tersebut. Memang dalam sistem perpajakan kita adanya 2 batasan pajak, yaitu pajak daerah dan pajak pusat (nasional). Namun mengapa beban pajak yang dirasakan masyarakat secara tidak disadari ada dimana-mana. Seharusnya ada batasan-batasan yang jelas antara pajak individu dan pajak perusahaaan, karena beban yang dirasakan oleh individu oleh pajak sangatlah banyak, pajak pendapatan, pajak izin mendirikan bangunan (IMB), pajak tanah, pajak tahunan, pajak kendaraan bermotor, dll. Sangat banyak dan merakyat! Batasan pajak konsumen seharusnya di prioritaskan hanya kepada produsen ataupun perusahaannya saja. Karena pajak yang merakyat dan memiliki kecenderungan tumpang tidih memiliki aspek negatif bagi masyrakat sendiri.

Modernisasi Perpajakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh dirjen pajak mengemukakan adanya sebuah modernisasi secara struktural, perubahan yang diciptakan adalah sentralisasi pembayaran pajak, dan dengan munculnya respensitatif yang disediakan oleh perpajakan. Memang ini merupakan suatu kemajuan biokrasi di perpajakan yang dulunya sangat berbelit-belit. Adanya pajak online juga sangat membantu dalam mempermudah registrasi NPWP dan info-info pajak lainnya. Namun menurut pendapat penulis, modernisasi bukan hanya pada permasalahan material saja namun hal-hal non material juga harus di ubah. Secara fungsional tugas Dirjen pajak hanya sebatas mengumpulkan biaya untuk anggaran pemerintah, namun secara detail kemana biaya dikeluarkan dan kegunaannya untuk apa, perpajakan tidak mengetahuinya. Karena adanya departemen anggaran dan lain sebagainnya. Seharusnya perpajakan dalam modernisasi perpajakan perlu adanya wewenang yang lebih dari hanya mengumpulkan pajak sendiri, memang cukup sulit. Ini diperlukan untuk sosialisasi yang genjar dilakukan oleh perpajakan, sosialisasi bukan hanya bagaimana menumbuhkan kesadaran tapi ada feedback dari perpajakan dengan pengetahuan alokasi secara detail kemana pajak tersebut dikucurkan. Sebenarnya ini sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa pajak memang untuk rakyat, dan janganlah pajak saja yang merakyat!

Opinion : Muzaiin Arfa Satria, setelah mengikuti seminar sosialisasi Perpajakan yang bertempat di Auditorium Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta

Wednesday, July 2, 2008

Asal-Usul dan Sejarah Suku Anak Dalam Jambi

Oleh : Muzaiin Arfa Satria


1. Sebutan Diri

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Dalam percakapan antar warga masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)

Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)

2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)

Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga keturunan:

  1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
  2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
  3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kawin Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.

Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.

Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).

Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.

Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.

Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo, April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.

Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.

Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang ada di Semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.

Daftar Pustaka :

Depsos RI. 1990, Data dan Informasi Pemberdayaan Masyarakat Terasing. Jakarta

________. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.

Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.

Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta

Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi

Ruliyanto, Agung. 2002, Majalah Tempo 18 April 2002, Jakarta

Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.



Friday, May 23, 2008

Koperasi sebagai pondasi perekonomian pasca bencana

Oleh :

Muzaiin Arfa Saria

Gempa bumi berskala 5,9 rikter meluluhlantakan sebagian DI Yogyakarta dan jawa tengah. Tanggal 27 mei pagi hari, semua dikejutkan suara gemuruh yang sangat kecang di tanah kasultanan Yogyakarta. Gempa itu berasal dari laut selatan, hampir 90% bangunan di daerah selatan jogja khususnya kabupaten Bantul hancur berantakan. Banyak korban jiwa akibatnya, tak luput pula perekonomian di jogjakarta mati, khususnya UKM (usaha kecil menegah) masyarakat sekitar. Dari data-data yang diperoleh dipastikan hampir keseluruhan perekonomian di daerah kabupaten bantul mati total, ini mengakibatkan masyarakat yang terkena bencana bingung dan resah bagaimana memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pasca gempa bumi.

Masyarakat kabupaten bantul yang mayoritas adalah petani yang swasembada pangan memerlukan suatu sistem yang baik untuk mendongkrak kembali perekonomian mereka. Di kawasan kabupaten bantul sebelum terjadinya gempa bumi banyak terdapat koperasi-koperasi unit desa yang khusus menagani masalah pertanian, tapi yang dipertanyakan adalah apakah koperasi setelah pasca gempa masih produktif ?. Untuk membangun kembali perekonomian khususnya di bantul perlu adanya koperasi-koperasi baru yang mempunyai visi dan misi bersama dalam memajukan dan menghidupkan kembali perekonomian mereka. Masyarakat jogja yang mempunyai semangat gotong royong dan berkerjasama sangat mendukung sistem kopersi yang berlandaskan azas kekeluargaan, karena koperasi mempunyai tujuan untuk memperoleh kesejahteraan bersama.

Menurut pendapat penulis adanya bantuan yang bersifat individual dari pemerintah tidak efektif untuk membangun kembali perekonomian masyarakat pasca gempa, seharusnya bantuan dari pemerintah harus bersifat proaktif misalnya dibangunnya suatu sistem koperasi yang sesuai dengan perekonomian masyarakat sebelumnya. Dari dibentuknya suatu sistem koperasi tersebutlah bantuan dana disalurkan untuk memacu perekonomian dan mendapatkan kembali perkerjaan masyarakat sekitar, hal ini lebih efektif untuk mencegah ketimpangan dan kelebihan dana bantuan bagi perekonomian mereka. Pemerataan perekonomian harus diutamakan karena dikhawatirkan adanya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Untuk kawasan daerah yang terkena bencana perlu didirikan tiga koperasi pendukung yaitu :

  1. Koperasi konsumsi

Merupakan koperasi yang melayani kebutuhan kaum buruh dan pegawai. Koperasi ini khusus melayani masyarakat dan anggota untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer misalnya Logistik dan barang-barang kelontongan yang dibutuhkan masyarakat. Koperasi semacam ini sangat produktif untuk memutar kembali modal dasar, karena sifatnya continue dan proses sirkulasinya sangat cepat.

  1. Koperasi Produksi

Merupakan wadah kaum petani (termasuk peternak atau nelayan). Hal ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat kawasan daerah Bantul khususnya, karena mayoritas masyarakatnya adalah petani. Ini dapat menghidupkan kembali para petani-petani yang putus asa karena sawah dan perkebunan mereka gagal panen dan hancur akibat gempa. Dengan wadah koperasi produksi diharapkan masyarakat memacu kembali roda perekonomian agar kembali lagi menjadi swasembada pangan, contohnya didirikan koperasi unit desa yang bergerak khususnya di lumbung padi desa, ini dimaksudkan adanya pemerataan harga jual bagi petani, koperasi ini juga menyediakan bibit-bibit pertanian serta pupuk dengan harga yang terjangkau oleh petani dan tidak adanya lagi kelangkaan pupuk nasional untuk para petani.

  1. Koperasi kredit

Koperasi yang melayani pedagang kecil dan pengusaha kecil guna memenuhi kebutuhan modal. Koperasi semacam ini sangat diperlukan oleh masyarakat, karena untuk mencegah para tengkulak dan lintah darat yang akan memberikan kredit dengan bunga yang sangat tinggi. Pengadaan modal bagi pengusaha usaha kecil menengah yang diberikan koperasi kredit ini memerlukan sistem dan manajemen yang berkualitas sama dengan perbankan, contoh koperasi ini misalnya didirikan unit simpan pinjam dan kredit dengan syarat-syarat yang memenuhi standar perkreditan. Agar terhindar dari kredit macet dan dana yang salah sasaran untuk masyarakat.

Tiga kategori koperasi diatas harus dibangun dikawasan pasca gempa yogyakarta dengan sistem yang baik dan visi misi untuk membagun kembali perekonomian masyarakat. Koperasi berguna bagi masyarakat untuk menciptakan produktifitas dan swadaya masyrakat dan menghilangkan sifat hanya menunggu bantuan dari orang lain, koperasi juga memperkecil ruang gerak penganguran karena jelas secara nyata kita melihat pasca bencana besar pasti tingkat penganguran masyarakat kita semakin meningkat. Masyarakat dipacu dengan koperasi untuk berpikir kreatif dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Koperasi bukanlah sebuah lembaga yang anti pasar atau non pasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar, karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisien. Koperasi juga bukan merupakan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani non-anggota, walaupun dengan maksud untuk menarik mereka menjadi anggota koperasi setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentranformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerjasama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.

Tujuan koperasi bukanlah mencari laba yang sebesar-besarnya, melainkan melayani kebutuhan bersama dan wadah partisipasi pelaku ekonomi skala kecil. Koperasi bisa pula membangun usaha skala besar berdasarkan modal yang bisa dikumpulkan dari anggotanya, baik anggota koperasi primer maupun anggota koperasi sekunder. Dari hal diatas peran koperasi sangatlah penting dalam pembangunan perekonomian khususnya untuk menompang pemerataan ekonomi. Dengan pondasi koperasi membuat perekonomian masyarakat yang terkena bencana akan bangkit untuk membangun sebuah pondasi-pondasi lain yang akhirnya kokoh dan menjadi besar. Kalau kita melihat pada tahun 1998 yang mana terjadi krisis moneter yang mengakibatkan hampir seluruh aspek perekonomian kita hancur, usaha-usaha dengan skala besar banyak gulung tikar akibat dampak tersebut, apa yang membuat perekonomian kita saat ini lambat laun bangkit? Koperasilah jawabanya, karena koperasi menompang usaha kecil dan menjadi pondasi awal, coba bayangkan apabila koperasi tidak ada, perekonomian kita akan bangkit lama dan bahkan hancur. Koperasi merangkul usaha-usaha masyarakat yang swadaya untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan sistem ekonomi yang mempunyai kedudukan politik yang cukup kuat karena memiliki cantolan konstitusional yaitu berpegang pada pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan” yang memungkinkan koperasi sebagai usaha perekonomian bangsa dan dapat mencapai skala besar yang mendapatkan tempat prioritas dalam perekonomian pemerintahan. Oleh sebab itu perlu adanya pondasi perekonomian yaitu koperasi sebagai pendorong ekonomi masyarakat kecil khususnya di kawasan pasca bencana.

Penulis berkeyakinan apabila hal ini diterapkan akan dapat memulihkan kembali kondisi ekonomi masyarakat bahkan akan lebih maju, karena sistem koperasi identik dengan kepribadian masyarakat desa yang memajukan semangat gotong-royong dan bekerja sama. Kita tidak perlu larut dalam kegelisahan dan kepedihan akibat bencana yang timbul. Mari bersama-sama kita majukan perekonomian kita dengan koperasi sebagai pondasi bangunan untuk membangun gedung yang menjulang tinggi dan menjadikan koperasi sebagai sistem perekonomian pasar yang berkualitas serta sehat.

Wednesday, May 21, 2008

Tentang Hubungan Antara Pengetahuan Dan Praktek

Antara Mengetahui Dan Melakukan Sesuatu

Oleh : Mao Tse-Tung

Sebelum Marx, aliran materialisme telah mempelajari persoa­lan-persoalan pengetahuan secara terpisah dari sifat sosial manusia dan perkembangan historisnya; dengan demikian, ia tidak mampu untuk memahami betapa tergantungnya pengetahuan kepada praktek sosial; yaitu, ketergantungan pengetahuan terhadap proses produksi dan perjuangan kelas.

Diatas segalanya, kaum Marxis selalu memandang aktivitas manusia dalam proses produksi sebagai aktivitas praktikal yang paling mendasar, sebagai faktor yang paling menentukan dari semua aktivitasnya yang lain. Pengetahuan manusia pada dasarnya sangat bergantung kepada aktivitasnya dalam proses produksi material, yang mana secara perlahan ia mulai memahami setiap gejala (fenomena), sifat-sifat dan hukum-hukum alam semesta, serta hubungan dirinya sendiri dengan alam sekitarnya; dan, melalui aktivitasnya dalam proses produksi dalam berbagai tingkatan, ia juga mulai memahami hubungan-hubungan tertentu yang ada antara manusia dengan manusia. Tak ada satupun pengetahuan manusia yang dapat diperoleh secara terpisah dari aktivitas produksi mereka.

Dalam masyarakat tanpa kelas, setiap orang sebagai anggota masyarakat, tergabung dalam satu tujuan bersama dengan anggota masyarakat yang lain, dan mereka memasuki hubungan-hubungan produksi tertentu yang ada diantara mereka serta terlibat bersama dalam proses produksi untuk mencukupi setiap kebutuhan-kebutuhan material mereka.

Dalam masyarakat berkelas, anggota-anggota masyarakat dari kelas-kelas sosial yang berbeda, dengan cara yang berbeda, juga memasuki hubungan-hubungan produksi tertentu dan terlibat dalam produksi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan material mereka. Hal ini merupakan sumber utama berkembangnya pengetahuan manusia .

Praktek sosial manusia tidak hanya terbatas pada aktivitas mereka dalam proses produksi semata, tetapi banyak pula bentuk-bentuk lainnya seperti -- perjuangan kelas, kehidupan politik, pengejaran tujuan-tujuan artistik dan ilmiah; ringkasnya, sebagai mahluk sosial, manusia berpartisipasi dalam setiap wilayah praktek kehidupan masyarakat.

Jadi, dalam berbagai tingkatan, manusia menjadi tahu perbedaan dalam hubungan-hubungan yang terjadi diantara mereka, tidak cuma melalui kehidupan materialnya, melainkan juga melalui kehi­dupan politik dan kebudayaannya (yang mana keduanya sangat berkai­tan erat dengan kehidupan material).

Dari berbagai macam tipe praktek sosial tersebut, dalam satu hal, bias dari kelas-kelas penindas selalu mengaburkan pemahaman tentang sejarah dan, dalam hal yang lainnya, dikarenakan tingkat perkembangan produksi yang masih rendah membatasi pandangan dunia mereka.

Barulah dengan kemunculan kaum proletar modern bersamaan dengan kekuatan-kekuatan produksinya yang luar biasa (industri dalam skala yang besar) manusia mencapai kemampuan untuk memahami secara komprehensif pemahaman historis dari perkembangan masyara­kat dan merubah pengetahuan ini menjadi ilmu, ilmu yang bernama Marxisme.

Kaum Marxis percaya bahwa praktek sosial manusia itu sendiri adalah sebuah kriteria kebenaran pengetahuannya tentang dunia luar. Apa yang sesungguhnya terjadi adalah, bahwa pengetahuan tersebut diuji kebenarannya sewaktu ia mencapai hasil-hasil yang diharapkan dalam proses praktek sosial (produksi material, per­juangan kelas dan eksperimen ilmiah). Jika seseorang ingin berha­sil, yaitu, hasil yang diharapkan sebelumnya, ia harus membuat gagasan-gagasannya itu sesuai (korespondensi) dengan hukum-hukum dari dunia luar yang obyektif; jika ia tidak mengalami kesesuaian (korespondesi), mereka akan gagal dalam tindakan prakteknya. Setelah mereka mengalami kegagalan, menarik kesimpulan dari pelajaran-pelajaran yang ia peroleh, kemudian memperbaiki gaga­sannya tersebut agar sesuai dengan hukum-hukum dari dunia ek­sternal yang kemudian akan merubah kegagalannya menjadi suatu keberhasilan; inilah yang dimaksudkan dengan makna dari "kegaga­lan adalah bunda dari keberhasilan" dan "jatuh terperosok dalam sebuah lubang adalah sebuah tambahan bagi kebijakan anda".

Teori pengetahuan dari kaum materialis-dielektis menempatkan praktek dalam posisinya yang utama, yaitu bahwa pengetahuan manusia dalam cara apapun tidak dapat dipisahkan dari praktek dan menolak setiap kesalahan-kesalahan teoritis yang mengabaikan pen­tingnya praktek atau memisahkan pengetahuan dari praktek. Jadi, seperti yang telah dikatakan oleh Lenin, "Praktek adalah lebih tinggi dibandingkan pengetahuan(teoritis),dikarenakan hal ter­sebut bukan cuma martabat universalitas, tetapi juga merupakan aktualitas yang utama."

(V.I. Lenin, "Conspectual Hegel' The Science of Logic", Collected works, Russ. ed., Moscow, 1958, Vol. XXXVIII, p. 205.)

Filsafat Materialisme-Dialektis dari kaum Marxis memiliki dua ciri yang utama. Pertama adalah sifat kelasnya; yang secara terbuka mengakui bahwa filsafat materialisme-dialektis bertujuan untuk melayani kepentingan kelas proletariat. Yang kedua adalah sifat prakteknya; yaitu menekankan ketergantungan teori kepada praktek, menekankan bahwa teori berdasarkan pada praktek dan kemudian melayani praktek. Kebenaran setiap pengetahuan atau teori ditentukan bukan oleh perasaan-perasaan subyektif, tetapi oleh hasil-hasil obyektif dari praktek sosial. Hanya praktek sosial-lah yang dapat menjadi kriteria kebenaran. Titik tolak ter­hadap praktek adalah titik tolak yang mendasar dan utama dalam teori pengetahuan kaum materialis-dialektis (Lihat Karl Marx, "Thesis of Feurbach", Karl Marx and Freder­ich Engels, Selected Works two volumes, Eng. ed., FLPH, Moscow, 1958, VoƬ II, p. 403, and V.I. Lenin, Materialisme and Empirio-Criticism, Eng. ed., FLPH, Moscow, 1952, pp. 136-42). Namun, bagaimanakah pengetahuan manusia yang lahir dari praktek dan pada gilirannya kemudian melayani praktek? Hal ini akan menjadi jelas jika kita memperhatikan proses perkembangan pengetahuan. Dalam praktek, manusia pada awalnya hanya melihat sisi gejala (fenomena), yaitu aspek yang terpisah dan merupakan hubungan-hubungan eksternal dari segala sesuatu (things). Sebagai contoh, beberapa orang asing mengunjungi Yenan dalam perjalanan penelitian. Pada hari-hari pertama atau kedua, mereka melihat topografi, jalanan, perumahan; mereka menjumpai banyak orang, menghadiri perjamuan, pesta petang hari dan pertemuan umum, men­dengar perkataan tentang berbagai macam hal dan membaca berbagai dokumen, kesemuanya itu adalah fenomena, aspek yang terpisah dan merupakan hubungan-hubungan eksternal dari segala sesuatu (things). Hal ini disebut dengan tahapan penglihatan (perseptual) dari kognisi, yaitu, tahapan dari persepsi inderawi dan kesan-kesan (impression). Kesemuanya itu, segala sesuatu yang khusus di Yenan memberi­kan penggaruh (act) terhadap organ-organ inderawi para anggota peneliti tersebut, membangkitkan persepsi-persepsi inderawi dan membuat otak mereka bekerja dengan mengumpulkan banyak sekali kesan-kesan dalam sketsa kasar dari hubungan-hubungan eksternal di antara kesan-kesan tersebut; hal ini merupakan tahapan pertama dari kognisi. Pada tahapan itu, manusia tidak atau belum dapat membentuk konsep-konsep yang mendalam, atau menarik kesimpulan-kesimpulan logis. Dikarenakan praktek sosial terus berlanjut, segala sesuatu yang memberikan rangsangan terhadap persepsi indra-indra dan kesan-kesan dalam diri manusia dalam rentang perjalanan praktekn­ya terus diulangi berkali-kali; kemudian suatu perubahan tiba-tiba (loncatan) terjadi di dalam otak dalam proses kognisi, dan konsep-konsep pun dibentuk. Konsep-konsep pada akhirnya bukan lagi suatu fenomena, aspek-aspek yang terpisah dan hubungan-hubungan eksternal dari segala suatu (things); konsep-konsep ter­sebut menjelaskan esensi (inti-pokok), totalitas dan hubungan-hubungan internal dari segala sesuatu. Antara konsep-konsep dan persepsi inderawi bukan saja terdapat suatu perbedaan kuantita­tif, melainkan juga perbedaan-perbedaan kualitatif. Lebih lanjut lagi, melalui sarana penilaian dan penyimpulan seseorang menjadi mampu untuk menarik kesimpulan-kesimpulan logis. Ekspresi dari _San Kuo Yen Yi_(Taleaotha Threa Kingdom) adalah novel kesejarahan cina yang termasyur yang dikarang oleh "Li Kuan Chung" sekitar akhir abad ke-14 dan awal ke-15 : "satukanlah kedua alis anda dan tipu daya muncul didalam pikiranmu" atau dalam bahasa sehari-hari "biarkan aku berpikir". Mengacu pada penggunaan konsep-konsep dalam otak manusia untuk membentujk penilaian dan kesimpulan. Hal ini adalah tahap kognisi tahap yang kedua.

Sewaktu para anggota peneliti tersebut mengumpulkan berbagai data dan lebih lanjut lagi,"telah memikirkan kesemuanya itu", baru mereka sanggup untuk sampai pada peneliaan bahwa "kebijakan partai komunis tentang front kesatuan nasional melawan Jepang benar-benar tulus, cermat dan menyeluruh". Setelah membuat penilaian seperti ini, jika mereka tulus tentang persatuan untuk menyelamatkan bangsa, mereka dapat melangkah lebih lanjut lagi dan menarik kesimpulan berikut, "Front Kesatuan Nasional Melawan Jepang telah berhasil".

Tahapan dari konsepsi,penilaian dan penyimpulan saperti ini adalah tahapan yang lebih penting lagi dalam proses mengetahui secara keseluruhan terhadap segala sesuatu (things), ini adalah tahapan pengetahuan yang rasional. Tugas utama dalam merngetahui adalah melalui persepsi untuk sampai pada pemikiran yang setahap demi setahap mampu untuk memahami secara menyeluruh tentang kontradiksi-kontradiksi internal dari sesuatu yang obyektif, tentang hukum-hukum dan hubungan-hubungan internal antara satu proses dengan proses yang lainnya, ringkasnya untuk sampai pada pengetahuan yang logis. Sekali lagi pengetahuan logis berbeda dari pengetahuan secara perseptual. Dalam artian, pengetahuan perseptual tetap bertahan pada aspek-aspek yang terpisah, yakni pada tingkat fenomena dan hubungan-hubungan eksternal dari segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan logis mengambil langkah maju kedepan untuk mencapai totalitas, inti pokok persoalan dan hubungan-hubungan internal dari segala sesuatu serta menunjukkan kontradiksi terdalam dari dunia sekitar kita. Dengan demikian, pengetahuan logis harus mampu untuk menjelaskan perkembangan dunia sekitar kita dalam totalitasnya, dalam hubungan-hubungan internal dari segala aspek-aspeknya. Teori mengenai proses perkembangan pengetahuan dari kaum materialis-dialektis ini, mendasarkan dirinya sendiri pada praktek dan memulai dari yang dangkal sampai dengan kedalaman, belum pernah dikerjakan oleh siapapun sebelum munculnya Marxisme. Materialisme dari kaum marxis memecahkan dari persoalan ini secara tepat untuk pertama kalinya, mengungkapkan pendalaman pergerakan kognisi secara materialis dan dialektis, suatu pergerakan yang mana manusia didalam masyarakat bergerak maju dari pengetahuan perseptual kepada pengetahuan logis dengan segala kompleksitasnya, dan terus menerus membangkitkan kembali praktek produksi dan perjuangan kelas. Lenin pernah berkata "Abstraksi terhadap materi hukum alam, hukum alam, abstraksi tehadap nilai, dsb. Ringkasnya,seluruh abstraksi ilmiah (tepat, serius, tidak mengada-ada) mencerminkan alam lebih dalam, benar dan lengkap.

" V.I. Lenin, Conseptual Hegel - The science of logic . Collectea works, RUSS . ed . Moscow, 1959, Vol.XXXVIII hal. 161.

Marxisme-Leninisme percaya bahwa masing-masing dari kedua tahap tadi dalam proses kognisi memiliki karakteristiknya tersendiri, dengan pengetahuan menyatakan dirinya sendiri sebagai bersifat perseptual pada tingkatan yang lebih rendah dan logika pada tahapan yang lebih tinggi, tetapi keduanya adalah tahapan-tahapan dalam suatu proses kognisi yang padu. Pengetahuan perseptual dan rational secara kualitatif berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya disatukan berdasarkan praktek. Praktek yang kita lakukan membuktikan bahwa apa yang ditangkap oleh indera tidak serta-merta dapat dipahami dan hanya apa yang telah dipahami dapat ditangkap secara mendalam oleh indera. Pemecahan kedua persoalan ini tidak dapat dipisahkan secara tajam dari praktek. Siapapun yang ingin mengetahui segala sesuatu, tidak dapat melakukan dengan cara lain lagi kecuali melakukan kontak yang lebih dekat lagi tehadap hal tersebut, yaitu dengan tinggal (mempraktekkan) dalam lingkungan tersebut. Dalam kondisi kehidupan masyarakat feodal, adalah tidak mungkin untuk mengetahui hukum-hukum masyarakat kapitalis lebih jauh lagi dikarenakan kapitalisme belum muncul, praktek yang relevan belumlah muncul. Marxisme hanyalah munkin berdasarkan produk dari masyarakat kapitalis. Marx, dalam massa kapitalisme pasar bebas (laissez-faire), tidak dapat secara konkrit mengetahui hukum-hukum tertentu yang khusus tentang masa imperalisme,didepan mata kita, dikarenakan imperalisme, tahapan terakhir dari kapitalisme, belumlah muncul, dan dengan demikian praktek yang relevan masih terabaikan, hanya Lenin dan Stalin yang dapat melakukan tugas ini.

Tanpa bermaksud mengabaikan kejeniusan mereka, alasan mengapa Marx, Lenin dan Stalin dapat mengerjakan teori-teori mereka pada dasarnya dikarenakan keterlibatan mereka secara personal dalam praktek perjuangan kelas serta pengalaman-pengalaman ilmiah dijaman mereka tanpa hal ini, tak ada seorang jeniuspun yang berhasil ucapannya " Tanpa melangkah keluar dari sangkar mereka, para sarjana mengetahui tahu segala sesuatu urusan-urusan dunia yang luas", hanyalah merupakan kata kosong di masa lampau sewaktu teknologi belum berkembang. Kendatipun perkataan tersebut bisa valid di abad ini berkat kemajuan teknologi, orang-orang yang memiliki pengetahuan secara personal adalah mereka yang terlibat dalam praktek terhadap dunia yang luas. Dan hal ini hanyalah ketika mareka menjadi "tahu" melalui praktek dan ketika pengetahuan dapat dicapai melalui penulisan dan teknologi media. Bahwa "para sarjana" dapat secara tidak langsung "tahu seluruh persoalan-persoalan dunia yang luas".

Jika anda ingin mengetahui sesuau secara pasti sesuatu kelas tertentu, anda harus secara pribadi berperan serta dalam perjuangan praktis untuk merubah realitas, untuk merubah segala sesuatu tersebut, dikarenakan hanya dengan demikianlah anda dapat berhubungan dengan mereka sebagai suatu fenomena, hanya melalui partisipasi pribadi dalam perjuangan praktis untuk merubah realitaslah anda dapat mengungkapkan esesnsi segala sesuatu atau kelas tersebut dan kemudian memahaminya secara. Inilah jalur untuk mencapai pengetahuan yang harus dilalui secara aktual oleh setiap orang, kendatipun beberapa orang dengan bersungguh-sungguh mengaburkannya dan menyatakan yang sebaliknya, kejujuran dan sifat yang rendah hati. Jika anda menginginkan pengetahuan, anda harus ikut serta dalam merubah realitas. Jika anda ingin mengetahui rasa buah pir, anda harus merubah buah pir tersebut dengan memakannya. Jika anda ingin sifat-sifat dan struktur atom, anda harus membuat eksperimen-exsperimen fisika dan kimia untuk merubah keberadaan atom. Jika anda ingin mengetahui teori dan metode-metode revolusi, anda harus ambil bagian dalam revolusi.

”Setiap pengetahuan yang sejati berasal dari pengalaman langsung. Tetapi kita tidak dapat memiliki semua pengalaman langsung; kita bisa melihat betapa kebanyakan dari pengetahuan kita berasal dari pengalaman tidak langsung, sebagai contoh, adalah pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu atau bangsa asing. Bagi nenek moyang kita atau bangsa asing, pengetahuan ter­sebut adalah suatu pengalaman langsung, dan pengetahuan ini dapat diandalkan jika dalam perjalanan pengalaman langsung mereka kebutuhan akan "abstraksi ilmiah", seperti yang telah diucapkan oleh Lenin, dipenuhi dan realitas obyektif direfleksikan secara ilmiah, kalau tidak begitu jelas tidak bisa kita andalkan. Dengan demikian, pengetahuan manusia terdiri dari dua bagian, yang berasal dari pengalaman langsung dan yang berasal dari pengalaman tidak langsug.

”Lebih lanjut lagi, apa yang merupakan pengalaman tidak langsung bagi saya adalah pengalaman langsung bagi orang lain. Sebagai akibatnya, setelah ditetapkan secar keseluruhan, pengeta­huan tentang apapun jenisnya adalah tidak dapat dipisahkan dari pengalaman langsung. Seluruh pengetahuan berasal dari persepsi dunia obyektif melalui organ-organ fisik manusia. Setiap orang yang menolak persepsi, menolak pengalaman langsung, menolak partisipasi secara personal dalam praktek yang merubah realitas bukanlah seorang materialis. Itulah sebabnya mengapa seorang yang tahu-segalanya" adalah menggelikan. Ada sebuah perkataan dari bangsa Cina, "Bagaimanakah engkau mampu menangkap seekor anak macan tanpa memasuki kandang macan?" Perkataan ini adalah benar bagi praktek manusia dan juga benar bagi teori pengetahuan. Tak akan pernah ada pengetahuan tanpa praktek. Untuk jelasnya, pergerakan kognisi dari kaum materialis-dialektis muncul berdasarkan praktek yang merubah realitas --untuk membuat jelas pergerakan yang mendalam secara perlahan-lahan dari kognisi--beberapa contoh kongkrit diberikan dibawah ini. Dalam pengetahuannya tentang masyarakat kapitalis, kaum proletar hanya berada dalam tahapan kognisi perseptual pada periode pertama prakteknya, sebuah periode penghancuran mesin dan perjuangan spontan; kaum proletar hanya mengetahui beberapa aspek eksternal dari hubungan-hubungan yang ada sebagai suatu fenomena kapitalisme. Oleh karena itu kaum proletar baru mencapai tahapan "kelas di dalam dirinya sendiri" (class in itself). Tetapi kemu­dian kaum proletar mencapai tahapan kedua dari prakteknya, yaitu periode perjuangan ekonomis dan politis secara sadar dan terorganisir, kaum proletar sanggup untuk memahami esensi dari masyara­kat kapitalis yaitu suatu hubungan yang bersifat eksploitatif antara kelas-kelas sosial dan kaum proletar mulai memahami tugas kesejarahannya. Kemampuan mereka tersebut dikarenakan praktek yang mereka lakukan sendiri dan dikarenakan pengalaman yang diperoleh dari perjuangan yang panjang, yang mana dirumuskan secara ilmiah oleh Marx dan Engels dengan keaneka-ragamannya untuk menciptakan teori Marxisme dan dijadikan pendidikan kaum prole­tar. Dari situlah kemudian kelas proletar menjadi suatu "kelas bagi dirinya sendiri".

Sama halnya dengan pengetahuan bangsa Cina tentang imperial­isme. Tahapan pertama masih berupa pengetahuan yang dangkal, perseptual, seperti yang ditunjukan dalam perjuangan anti bangsa asing yaitu Pergerakan Kerajaan Surga Taiping, Pergerakan Yi Ho Tuan, dsb. Barulah pada tahapan kedua bangsa Cina mencapai penge­tahuan yang rasional, mampu melihat kontradiksi-kontradiksi internal dan eksternal dari imperialisme dan melihat kebenaran utama bahwa imperialisme ternyata telah bersekutu dengan kaum komprador Cina dan penguasa kelas-kelas feodal untuk menindas dan memeras sejumlah besar rakyat Cina. Pengetahuan ini mulai pada saat Pergerakan bulan Mei tahun 1919 (May 4th Movement).

Kemudian, mari kita perhatikan peperangan. Jika mereka yang memimpin peperangan tidak memiliki cukup pengalaman tentang perang, maka pada tahapan tertentu mereka tidak akan mengerti hukum-hukum terdalam yang bersinggungan dengan pengarahan perang yang khusus (seperti Perang Revolusioner Agraria pada dekade yang lalu). Pada tahapan tertentu mereka hanya akan semata-mata mengalami sejumlah pertempuran, dan terlebih-lebih, akan mengala­mi kekalahan. Tetapi pengalaman tersebut (pengalaman kalah dan menang dalam pertempuran) membuat mereka mampu untuk memahami jaringan terdalam dari keseluruhan pertempuran, yaitu, hukum-hukum dari perang khusus, dan untuk memahami strategi dan taktik, dan sebagai akibatnya untuk mengarahkan peertempuran dengan penuh keyakinan. Jika, pada suatu ketika, komando dialihkan kepada seseorang yang tidak berpengalaman, maka ia pun akan mengalami sejumlah kekalahan (mengumpulkan pengalaman) sebelum mampu meman­dang dengan jernih hukum sejati dari perang.

“Saya tidak yakin saya dapat menangani hal ini." Kita sering mendengar sewaktu seorang kamerad bimbang untuk menerima tugas. Mengapa ia tidak yakin dengan dirinya sendiri? Dikarenakan ia tidak memiliki pemahaman yang sistematis terhadap isi dan ruang lingkup tugasnya, atau dikarenakan ia memiliki sedikit atau tidak pernah sama sekali kontak dengan perkerjaaan semacam itu, dan dengan demikian juga hukum-hukum yang mengatur kesemuanya itu berada diluar kendali dirinya. Setelah analisis yang mendetail terhadap sifat dan ruang lingkup dari penugasannya, ia akan merasa lebih yakin akan dirinya sendiri dan melakukannya dengan senang hati. Jika ia menghabiskan sejumlah waktu dalam perker­jaannya dan memperoleh pengalaman dan jika ia adalah seorang yang memiliki kehendak untuk melihat persoalan-persoalan dengan kepala terbuka dan tidak subyektif, satu-segi dan dangkal dalam pendekatannya, maka ia akan mampu menarik kesimpulan-kesimpulan bagi dirinya sendiri yaitu dengan mengetahui bagaimana melakukan suatu pekerjaan dan mengerjakanya dengan penuh keberanian.

Hanya mereka yang secara subyektif, satu-segi dan dangkal dalam pendekatannya terhadap persoalan-persoalan yang akan mem­berikan perintah-perintah yang berpuas diri atau mengarahkan suatu moment yang mereka terima dari permukaan tanpa memperhati­kan kondisi sekitarnya, tanpa memandang segala sesuatu dalam totalitasnya (keberadaan kekinian dan historis mereka secara keseluruhan) dan tanpa mendapatkan inti persoalan (sifat dan hubungan-hubungan internal mereka antara sesuatu dengan yang lainnya). Orang seperti itu akan gagal dan tertipu.

Jadi, dapat kita mengerti bahwa langkah pertama dalam proses kognisi adalah hubungan langsung dengan obyek-obyek yang berasal dari dunia eksternal; hal tersebut diperoleh dari tahapan persep­si. Tahapan berikutnya adalah mensintesakan data-data yang dipe­roleh dari persepsi dengan menyusun dan merekonstruksinya kemba­li; ini adalah tahapan konsepsi, penilaian dan penyimpulan. Hanya ketika data persepsi yang kita peroleh sangat kaya (tidak frag­mentaris) dan bersesuaian dengan realitas (bukan ilusi) barulah mereka dapat menjadi dasar bagi pembentukan konsep-konsep dan teori-teori yang tepat. Dua persoalan penting perlu ditegaskan disini. Pertama, seperti yang telah dinyatakan sebelumnya tetapi harus diulang sekali lagi disini adalah ketergantungan pengetahuan rasional kepada pengetahuan perseptual (inderawi). Setiap orang yang brpikir bahwa pengetahuan rasional tidak harus bersumber pada pengetahuan perseptual (inderawi) adalah seorang idealis.

Dalam sejarah filsafat, terdapat suatu aliran "rasionallis" yang mengakui realitas hanya pada nalar dan bukan pada pengala­man, mempercayai bahwa nalar itu sendiri dapat dijadikan dasar pegangan sementara pengalaman inderawi tidak; aliran ini melaku­kan kesalahan dengan merubah segalanya secara terbalik. Penalaran dapat dijadikan pegangan dikarenakan nalar memiliki sumbernya dalam persepsi inderawi, kalau tidak hal tersebut hanyalah seperti air yang mengalir tanpa mata-air, pohon tanpa akar, subyektif, hasil-diri dan tidak dapat dipegang kebenarannya.

Sebagai suatu urutan dalam proses kognisi, pengalaman inder­awi muncul sebagai yang pertama; kita menekankan pentingnya makna praktek sosial dalam proses kognisi tepatnya dikarenakan praktek sosial itu sendiri yang dapat memberikan perkembangan bagi penge­tahuan manusia dan praktek sosial itu sendiri yang dapat menjadi titik tolak bagi manusia dalam memperoleh pengalaman inderawi dari dunia obyektif. Bagi seseorang yang menutup mata dan telin­ganya, memutuskan dirinya dari dunia obyektif tak akan ada sesua­tu yang dinamakan pengetahuan. Pengetahuan bermula dari pengala­man ini adalah teori pengetahuan aliran materialisme.

Faktor yang kedua adalah bahwa pengetahuan harus diperdalam, bahwa tahap pengetahuan inderawi harus dikembangkan menjadi tahapan yang rasional -- ini adalah dialektika dari teori penge­tahuan. Untuk memahami, adalah penting secara empiris untuk memaha­mi, studi, dan meningkat yang empiris yang universal. Dengan berpikir bahwa pengetahuan dapat berhenti pada tingkatan yang terendah, tahapan inderawi dan bahwa pengetahuan inderawi itu sendiri sudah mencukupi sementara pengetahuan ra­sional tidak berarti sama sekali, sama saja dengan mengulangi kesalahan historis dari "empirisme". Kesalahan teori ini adalah dalam pemahamannya bahwa, kendatipun data inderawi mencerminkan realitas tertentu dari dunia obyektif (disini saya tidak membi­carakan empirisme idealis yang membatasi pengalaman pada intro­speksi), mereka semua baru bersegi-satu dan dangkal, mencerminkan segala sesuatunya secara lengkap dan tidak mencerminkan esensinya.

Mencerminkan segala sesuatu dalam suatu totalitas, mencer­minkan esensi dan mencerminkan hukum-hukum inherennya, harus dilakukan melalui kerja pemikiran dengan membentuk kembali data inderawi yang kaya tersebut, memilah yang tidak perlu dan memilih esensinya, menghapuskan kesalahan dan mempertahankan yang benar, diawali dari yang satu ke yang lainnya dan dari luar ke dalam, dengan maksud untuk membentuk suatu sistem teori-teori dan kon­sep-konsep -- haruslah membuat lompatan dari pengetahuan inderawi menuju pengetahuan rasional.

Pengetahuan yang telah dibentuk kembali tersebut tidak lebih hampa atau tidak lebih layak; sebaliknya, apapun yang telah dibentuk kembali secara ilmiah dalam proses kognisi, dengan ber­dasarkan pada praktek, atau mencerminkan realitas obyektif dengan lebih mendalam, benar dan menyeluruh, seperti yang pernahdikata­kan oleh Lenin. Bertentangan dengan ini, "manusia-praktek" yang vulgar menghargai pengalaman dan mengabaikan teori, dan dengan demikian tidak mampu memiliki pandangan yang komprehensif dari keseluruhan proses obyektif, kehilangan arah yang jelas dan perspektif jangka panjang, puas terhadap keberhasilan sementara dan memiliki pandangan yang sekilas terhadap kebenaran. Jika orang seperti itu mengarahkan revolusi, mereka akan membawanya menuju lembah yang gelap.

Pengetahuan rasional tergantung pada pengetahuan inderawi dan pengetahuan inderawi tetap harus ditingkatkan menjadi penge­tahuan yang rasional -- inilah teori pengetahuan kaum materialis-dialektis. Dalam filsafat, baik "rasionalisme" atau "empirisme" tidak mampu memahami sifat kesejarahan atau perkembangan dialek­tis dari pengetahuan, dan kendatipun masing-masing aliran ini mengandung pula satu aspek kebenaran (disini saya mengacu pada kaum materialis, bukan pada kaum idealis, rasionalis dan empiris), keduanya memiliki kesalahan tentang teori pengetahuan secara keseluruhan. Pergerakan materialis-dialektis dari penge­tahuan, dari indrawi menuju penalaran memiliki ketepatan dalam proses kognisi yang kecil (sebagai contoh, mengetahui suatu hal dan tugas yang tunggal) sebagaimana pula dengan proses kognisi yang besar (sebagai contoh, mengetahui seluruh masyarakat dan revolusi).

Tetapi pergerakan pengetahuan tidak berhenti disini. Jika pergerakan materialis-dialektis tentang pengetahuan berhenti pada pengetahuan rasional, baru setengah persoalan yang telah di-selesaikan. Dan sejauh filsafat Marxis diperhatikan, hanya seten­gah bagian penting yang telah diperhatikan Filsafat Marxis menyatakan bahwa persoalan yang paling utama tidak terletak hanya sekedar pada pemahaman hukum-hukum obyektif tentang dunia dan dengan demikian mampu menjelaskannya, tetapi dalam menerapkan pengetahuan akan hukum-hukum tersebut secara aktif untuk merubah dunia. Dari titik tolak kaum Marxis, teori adalah penting, dan makna pentingnya dinyatakan secara penuh oleh Lenin,Tanpa Marxisme pengetahuan teori revolusioner tak akan pernah muncul pergerakan yang revolusioner V.I. Lenin, menekankan pentingnya teori dikarenakan ia akan membimbing tin­dakan kita. Jika kita memiliki teori yang tepat tetapi hanya sekedar mengoceh tentangnya, menghapalkannya semata dan tidak meletakannya pada praktek, maka teori tersebut, kendatipun baik, menjadi tidak berarti.

Pengetahuan dimulai hanya dengan praktek, dan pengetahuan teoritis diperoleh melalui praktek dan kemudian harus dikembali­kan pada praktek. Fungsi aktif dari pengetahuan menyatakan dirinya sendiri tidak hanya dalam loncatan dari pengetahuan in­derawi menuju pengatahuan rasional, tetapi -- dan hal ini sangat penting sekali -- pengetahuan tersebut harus menyatakan dirinya sendiri dalam lompatan dari pengetahuan rasional menjadi praktek revolusioner.

Pengetahuan yang menerangkan hukum-hukum dunia, harus diar­ahkan lagi kepada praktek merubah dunia, harus diterapkan lagi dalam praktek produksi, dalam praktek revolusioner perjuangan kelas dan perjuangan nasional yang revolusioner serta dalam praktek eksperimen ilmiah. Ini merupakan proses pengujian dan pengembangan teori, kelanjutan dari keseluruhan proses kognisi. Persoalan-persoalan apakah teori sesuai dengan realitas obyektif bukan dan tidak dipecahkan dalam pergerakan pengetahuan dari inderawi menuju rasional seperti yang telah disebutkan diatas. Satu-satunya cara untuk memecahkan persoalan ini secara lengkap adalah dengan mengarahkan kembali pengetahuan rasional kepada praktek sosial, menerapkan teori pada praktek dan melihat apakah teori tersebut dapat mencapai hasil-hasil obyektif seperti yang ada di dalam pikiran. Banyak sekali teori-teori ilmu alam dipandang benar bukan dikarenakan kesemuanya itu diperlakukan begitu ketika teori tersebut muncul dari kalangan ilmuwan alam, melainkan dikarenakan teori-teori tersebut telah diuji dalam praktek-praktek ilmiah yang terus menerus. Sama halnya dengan Marxisme-Leninisme, yang dianggap benar dikarenakan bukan karena teori tersebut ditetapkan begitu saja ketika dibentuk secara ilmiah oleh Marx, Engels, Lenin dan Stalin, tetapi dikarenakan teori-teori tersebut telah diuji dalam dalam praktek perjuangan kelas dan perjuangan nasional yang revolusioner secara terus menerus.

Materialisme-dialektik secara universal benar dikarenakan adalah tidak mungkin bagi siapapun untuk keluar dari wilayah ter­sebut dalam praktek yang ia lakukan. Sejarah pengetahuan umat manusia mengatakan pada kita bahwa kebenaran dari banyak sekali teori masih belum lengkap, dan ketidak-lengkapan ini hanya dapat disembuhkan melalui praktek. Banyak sekali teori-teori yang salah, dan hanya melalui praktek kesalahan mereka diperbaiki itulah jawaban mengapa praktek adalah kriteria kebenaran dan men­gapa titik tolak kehidupan, praktek, harus menjadi yang utama dan mendasar dalam teori pengetahuan V.I. Lenin, Materialism and Empirio-Criticism FLPH Stalin telah mengata­kannya dengan baik, teori menjadi tidak berarti jika tidak dihubungkan dengan praktek revolusioner, seperti halnya praktek hanya akan meraba-raba dalam tempat yang gelap apabila tidak diterangi oleh teori revolusioner J.V. Stalin., "The Foundation of Leninism" Problem Leninism_, Eng. ed., FLPH, Moscow, 1954,

Kapankah kita sampai pada titik ini, apakah pergerakan pen­getahuan telah menjadi lengkap? Jawaban kita adalah: ya dan belum. Sewaktu manusia di dalam masyarakat membawa diri mereka dalam praktek merubah suatu proses obyektif tertentu (apakah alamiah atau natural), pada tahapan tertentu perkembangannya mereka dapat, sebagai hasil dari refleksi proses obyektif dalam otak mereka dan melakukan aktivitas subyektif mereka, meningkat­kan pengetahuan mereka dari yang bersifat inderawi menjadi ra­sional, dan menciptakan gagasan-gagasan, teori, rencana, atau program-program yang berkesesuaian secara umum dengan hukum-hukum proses obyektif tersebut.

Mereka kemudian menerapkan gagasan-gagasan tersebut, teori-teori, rencana-rencana dan program-program dalam praktek dalam proses obyektif yang sama. Dan apabila mereka dapat merealisasi­kan tujuan-tujuan yang ada dalam pikiran mereka, yaitu, jika dalam proses praktek yang sama mereka dapat menterjemahkan , atau dalam keseluruhan terjemahan, gagasan-gagasan yang sebelumnya dibentuk, teori, rencana, program-program menjadi fakta, maka pergerakan pengetahuan mungkin dapat ditetapkan semakin lengkap dengan memandang proses-proses khusus tersebut.

Dalam proses perubahan alam, sebagai contoh adalah rencana perekayasaan (engineering), pengujian hipotesis-hipotesis ilmiah, manufaktur atau menuai tanaman; atau dalam proses perubahan masyarakat, ambillah contoh kemenangan pemogokkan, kemenangan peperangan atau pencapaian target rencana pendidikan. Kesemuanya itu dapat ditetapkan sebagai realisasi dari tujuan-tujuan yang dimiliki seseorang di kepalanya.

Tetapi secara umum, baik itu dalam praktek merubah alam atau masyarakat, gagasan-gagasan asli manusia, teori-teori, rencana, program-program jarang sekali terealisasi tanpa mengalami suatu perubahan. Hal ini dikarenakan orang-orang yang terlibat dalam perubahan realitas tersebut menjadi subyek dari sejumlah keterba­tasan-keterbatasan. Mereka dibatasi tidak hanya oleh kondisi-kondsi ilmiah dan teknologi tetapi juga oleh perkembangan proses obyektif itu sendiri dan tingkat sampai dimana proses obyektif ini menyatakan dirinya (aspek-aspek dan esensi dari proses obyek­tif belum semuanya terungkap). Dalam suatu situasi, gagasan-gagasan, teori-teori, rencana-rencana atau program-program biasanya berubah baik secara kese­luruhan maupun sebagian, dikarenakan penemuan-penemuan dari ling­kungan yang tak terduga dalam perjalanan praktek. Begitulah seperti yang sering diucapkan. Seringkali terjadi gagasan-gagasan orisinil, teori-teori, rencana-rencana, program-program gagal un­tuk bersesuaian dengan dengan realitas baik secara keseluruhan maupun secara parsial dan tidak tepat secara keseluruhan dan par­sial. Dalam banyak contoh, kegagalan harus diulang berkali-kali sebelum kesalahan dalam pengetahuan diperbaiki dan bersesuaian dengan hukum-hukum dari proses obyektif yang diperoleh, dan sebagai akibatnya sebelum faktor subyektif dapat dirubah menjadi obyektif, atau dengan kata lain, sebelum hasil-hasil yang dihar­apkan tercapai dalam praktek. Tetapi, ketika titik tersebut tercapai, tak persoalan bagaimana, pergerakan pengetahuan manusia dengan memandang proses-proses obyektif tertentu pada tahapan tertentu perkembangannya mungkin dapat ditentukan secara lengkap.

Bagaimanapun juga, sejauh gerak maju proses tersebut diper­hatikan, pengetahuan manusia ternyata belum mencapai titik akhir. Setiap proses, apakah itu terjadi di alam semesta maupun dalam masyarakat, bergerak maju dan berkembang dikarenakan oleh per­juangan dan kontradiksi internalnya, dan pergerakan pengetahuan manusia sudah seharusnya mengalami kemajuan dan berkembang ber­samaan pula. Sejauh kita memperhatikan pergerakan-pergerakan sosial, pemimpin revolusioner yang sejati tidak hanya baik den­gan sekedar memperbaiki kesalahan-kesalahan gagasan, teori-teori, rencana-rencana atau program-program mereka ketika kesalahan ditemukan seperti yang telah disebutkan diatas; tetapi, sewaktu suatu proses obyektif tertentu segera bergerak maju dan berubah dari satu tahap perkembangan ke yang lainnya, mereka harus juga baik dalam membuat diri mereka dan seluruh kawan-kawannya yang revolusioner bergerak maju dan berubah dalam pengetahuan subyek­tif mereka bersamaan dengan proses tersebut, yaitu, mereka harus menjamin bahwa tugas-tugas revolusioner baru yang diajukan dan program-program kerja yang baru harus bersesuaian dengan peruba­han-perubahan baru dalam situasi yang mereka hadapi.

Dalam periode yang revolusioner perubahan-perubahan situasi terjadi dengan cepat; jika pengetahuan kaum yang revolusioner tidak berubah dengan cepat pula sehubungan dengan situasi yang berubah, mereka tidak akan mampu untuk memimpin revolusi menuju kemenangan.

Bagaimanapun, seringkali terjadi, bahwa pemikiran tertinggal dibelakang realitas; hal ini dikarenakan kognisi manusia dibatasi oleh sejumlah besar kondisi-kondisi sosial mereka. Kita menentang sifat-sifat keras kepala dalam jajaran revolusioner yang pemikir­annya gagal untuk mengikuti gerak maju dengan perubahan kondisi lingkungan yang obyektif dan telah menyatakan dirinya sendiri secara historis sebagai oportunisme Kanan. Orang-orang ini gagal untuk melihat bahwa perjuangan yang saling bertentangan segera menekan proses-proses obyektif untuk terus maju,yang mana pada saat yang bersamaan pengetahuan mereka telah berhenti pada titik yang usang. Ini adalah ciri-ciri dari pemikiran yang bersifat keras kepala. Pemikiran mereka diceraikan dari praktek sosial, dan mereka tidak mampu bergerak maju unuk membimbing kendaraan perang masyarakat; secara sederhana mereka terjebak di belakang menggerutu bahwa kesemuanya berjalan terlalul cepat dan mencoba untuk menariknya kebelakang atau merubahnya ke arah yang berlawa­nan. Kita juga menentang setiap fraseologi dari kaum "Kiri". Pemikiran "kaum kiri" ini melebihi tahapan perkembangan yang ada dari proses yang obyektif; beberapa memandang fantasi-fantasi mereka sebagai kebenaran, sementara yang lainnya tetap bertahan pada cita-cita yang ingin segera direalisasikan yang mana pada dasarnya cita-cita tersebut hanya dapat diterapkan di masa yang akan datang. Mereka mengasingkan diri mereka sendiri dari praktek sekarang ini yang dilakukan oleh mayoritas orang dan dari reali­tas kekinian serta menempatkan diri mereka sendiri sebagai advon­turir dalam tindakannya.Idealisme dan materialisme mekanis, oportunisme dan adven­turirisme, kesemuanya itu dicirikan oleh pemutusan antara aspek subyektif dengan aspek obyektif, dengan pemisahan antara pengeta­huan dan praktek. Teori pengetahuan kaum Marxis-Leninis, menciri­kan dirinya oleh praktek sosial yang ilmiah, tidak dapat tetapi dengan tegas menentang ideologi-ideologi yang salah tersebut. Kaum Marxis menyadari bahwa dalam proses perkembangan semesta yang umum dan absolut, perkembangan masing-masing aspek yang partikular adalah relatif, dengan demikian, berada dalam gelom­bang yang tak pernah berhenti dari kebenaran absolut.Pengetahuan manusia tentang proses-proses partikular pada tahapan tertentu perkembangannya hanyalah sebuah kebenaran yang relatif. Jumlah total dari kebenaran-kebenaran relatif yang tak terhingga memben­tuk kebenaran absolut.”Lihat V.I. Lenin, "Materialism and Empirio-Criticismed”., FLPH, Moscow, 1952, hal. 129-36. Perkembangan dari proses-proses obyektif penuh dengan pertentangan dan kontradiksi, dan demikian pula dengan perkembangan pengetahuan manusia. Semua pergerakan dia­lektis dari dunia obyektif cepat atau lambat dapat dicerminkan dalam pengetahuan manusia.

Dalam praktek sosial, proses menjadi, berkembang dan menghi­lang adalah tak terhingga, demikian pula dengan pengetahuan. Dikarenakan praktek manusia yang merubah realiltas berada dalam suatu kesesuaian dengan gagasan-gagasan , teori-teori, rencana-rencana serta program-program yang ada serta terus meningkat, pengetahuannya tentang realitas obyektif menjadi semakin menda­lam. Pergerakan perubahan di dalam dunia realitas yang obyektif tak akan pernah berakhir dan demikian pula dengan kognisi tentang kebenaran dalam diri manusia melalui praktek. Marxisme-Leninisme telah menghabiskan kebenaran tetapi tidak pernah berhenti untuk membuka jalan kepada pengetahuan tentang kebenaran dalam per­jalanan praktek. Kesimpulan kita adalah, suatu hal yang kongkrit, kesatuan historis dari aspek subyektif dan obyektif, teori dan praktek, mengetahui dan bertindak, dan kita akan selalu menentang segala ideologi-ideologi yang salah, baik itu "kiri" atau Kanan, yang diambil dari sejarah yang kongkrit.

Dalam perkembangan masyarakat sekaranag ini, tanggung jawab tentang ketepatan mengetahui dan merubah dunia telah ditempatkan oleh sejarah di atas pundak kaum proletar dan partai mereka Proses ini, praktek merubah dunia, yang ditentukan kemudian oleh pengetahuan ilmliah , segera mencapai momen-momen historisnya di dunia dan Cina, yaitu, suatu momen untuk menghancurkan kegelapan secara keseluruhan dari dunia dan dari Cina, serta untuk merubah dunia menjadi suatu dunia yang bercahaya seperti yang belum per­nah terjadi sebelumnya di dunia.

Perjuangan dari kaum proletar dan masyarakat yang revolu­sioner untuk merubah dunia mengandung tugas-tugas sebagai beri­kut: merubah dunia obyektif dan pada saat yang sama, dunia subyektif mereka sendiri --merubah kemampuan kognitif dasn merubah hubungan-hubngan dunia obyektif dan subyektif. Perubahan seperti itu telah terjadi di suatu tempat di bola bumi ini, yaitu di Uni Sovyet. Disana orang-orang sedang mendorong maju proses peruba­han. Rakyat Cina dan seluruh dunia sedang bergerak maju, atau akan bergerak maju ke dalam proses tersebut. Dan dunia obyektif yang harus dirubah juga mengikut-sertakan setiap pendukung pruba­han, yang, dengan tujuan untuk merubah, harus mengalami tahapan yang memaksa mereka sebelum mereka mampu memamsuki tahapan sukar­ela, perubahan yang sadar. Masa dari komunisme dunia akan terca­pai pada saat seluruh umat manusia secara sukarela dan sadar merubah dunia dan dirinya sendiri.

Temukan kebenaran melalui praktek, dan uji serta kembangkan kebenaran melalui praktek juga. Dimulai dari pengetahuan perseptu­al dan secara aktif mengembangkannya menjadi pengetahuan rasion­al; kemudian berawal dari pengetahuan rasional dan secara aktif membimbing praktek revolusioner untuk merubah baik itu dunia obyektif maupun dunia subyektif. Praktek, pengetahuan, kemudian praktek serta pengetahuan lagi. Bentuk seperti ini terus berulang dalam gerak melingkar yang tanpa akhir, dan dengan mana dalam setiap lingkaran tersebut isi praktek dan pengetahuan meningkat menuju tingkatan yang lebih tinggi. Begitulah seluruh keseluruhan teori pengetahuan dari kaum materialis-dialektis tentang kesatuan antar mengetahui dan melakukan sesuatu.

Friday, May 16, 2008

SEJARAH MASYARAKAT INDONESIA

MASYARAKAT FEODAL INDONESIA

Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah.Dalam tahapan masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta seluruh tata nilainya.

Pada perkembangan masyarakat feodal di Eropa, dimana tanah dikuasai oleh baron-baron (tuan2 tanah) dan tersentral. Para feodal atau Baron (pemilik tanah dan kalangan kerabat kerajaan) yang memiliki tanah yang luas mempekerjakan orang yang tidak bertanah dengan jalan diberi hak mengambil dari hasil pengolahan tanah yang merupakan sisa upeti yang harus dibayar kepada para baron. Tanah dan hasilnya dikelola dengan alat-alat pertanian yang kadang disewakan oleh para baron (seperti bajak dan kincir angin). Pengelolaan tersebut diarahkan untuk kepentingan menghasilkan produk pertanian yang akan dijual ke tempat-tempat lain oleh pedagang-pedagang yang dipekerjakan oleh para baron. Di atas tanah kekuasaannya, para baron adalah satu-satunya orang yang berhak mengadakan pengadilan, memutuskan perkawinan, memiliki senjata dan tentara, dan hak-hak lainnya yang sekarang merupakan fungsi negara. Para baron sebenarnya otonom terhadap raja, dan seringkali mereka berkonspirasi menggulingkan raja.

Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri, singasari, majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut dan mempunyai wewenang untuk membagi-bagikan berupa petak-petak kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik (calon sikep-sikep), bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di beberapa tempat) dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun upeti. Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian disetorkan kepada raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi negara-kerajaan dan bagi administratornya.

Pada tahap masyarakat feodal di Indonesia, sebenarnya sudah muncul perlawanan dari kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng Galengsong, pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain. Hanya saja, pemberontakan mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakan-gerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif dari tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan dengan hubungan-hubungan sosial yang dimapankan (konservatif). Walaupun kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang merasa terancam karena perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya.

Embrio kapitalisme mulai bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara di awal abad ke-15, melalui merkantilisme Eropa.

2. Masuknya kapitalisme melalui Kolonialisme dan Imperialisme

Di negara-negara yang menganut paham merkantilisme terjadi perubahan besar terutama setelah Perkembangan teknologi perkapalan di Eropa Selatan semakin memberi basis bagi embrio kolonialisme/imperialisme dan kapitalisme, dimana mereka mencoba untuk mencari daerah baru yang kemudian diklaim sebagai daerah jajahannya dengan semboyan Gold, Gospel, dan Glory, mereka membenarkan tujuannya dengan alasan penyebaran agama dan dalam bentuk kapitalisme dagang (merkantilisme) dan sejak itu feodalisme di masyarakat pra-Indonesia mempunyai lawan yang sekali tempo bisa diajak bersama memusuhi dan melumpuhkan rakyat. Daerah operasinya terbatas di daerah pesisir dan kota besar, seperti Malaka dan Banten. Bentuk komoditinya bertumpu pada komoditi pertanian dan perkebunan, seperti tanaman keras atau rempah-rempah. Komoditi ini adalah kebutuhan pokok utama untuk industri farmasi di Eropa.

Kolonialisme dan imperialisame merebak di mana-mana, termasuk di tanah Nusantara, Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru yang dipimpin raja muda portugis Vasco da Gama. Tujuannya mencari rempah-rempah yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten.

Kolonialisme yang masuk pertama di Indonesia merupakan sisa-sisa kapitalisme perdagangan (merkantilisme). Para kapitalis-merkantilis Belanda masuk pertama kali ke Indonesia melalui pedagang-pedagang rempah-rempah bersenjata, yang kemudian diorganisasikan dalam bentuk persekutuan dagang VOC tahun 1602, demikian juga dengan Portugis, dan Spanyol. Para pedagang bersenjata ini, melakukan perdagangan dengan para feodal, yang seringkali sambil melakukan ancaman, kekerasan dan perang (ingat sejarah pelayaran Hongi).

Kekuasaan kolonial Belanda ini terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik negara. Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente (pajak tanah) --pajak ini mengharuskan sistem monetar dalam masyarakat yang masih terkebelakang sistem moneternya, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya rentenir dan ijon.

Di sisi yang lain, kalangan kolonialis-kapitalis juga memanfaatkan kalangan feodal untuk menjaga kekuasaannya. Hubungan antara para kolonialis-kapitalis dengan para feodal adalah hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak Kapitalisme yang lahir di Indonesia bukan ditandai dengan dihancurkannya tatanan ekonomi-politik feodalisme, melainkan justru ada usaha revitalisasi dan produksi ulang tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme. Karena adanya revolusi industri terjadi kelebihan produksi yang membutuhkan perluasan pasar; membutuhkan sumber bahan mentah dari negeri asalnya; membutuhkan tenaga kerja yang murah -- mulai melakukan kolonialisasi ke negara-negara yang belum maju. terlebih seusai berhasil menjatuhkan monarki absolut. Tapi pertumbuhan ini dimulai dalam bentuk paling primitif dan sederhana. Hal ini sangat berbeda dengan lahirnya kapitalisme di negara-negara Eropa dan Amerika. Di kedua benua tersebut, kapitalisme lahir sebagai wujud dari dihancurkannya tatanan ekonomi-sosial-politik-ideologi-budaya feodal. Contoh kasus yang paling jelas adalah adanya revolusi industri di Inggris yang mendahului terjadinya revolusi borjuasi di Perancis

3. Tumbuhnya Kapitalisme di Indonesia

Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia. Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:

1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;

2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;

3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;

4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;

5. Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;

6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;

7. Pembebanan berbagai macam pajak.

Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.

Pada pertengahan abad 19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital dagang swasta --seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki parlementer dalam sistim kapitalisme-- terjadi pula perubahan di Nusantara/ Hindia Belanda. Perubahan kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan sistem politiknya: dari campur tangan negara, terutama untuk monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Politik dagang kolonial yang monopolistik ke politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang. Maka pada tahun 1870 tanam paksa di hentikan. Namun borjuasi yang masuk ke jajahan (di Indonesia) menghadapi problem secara fundamental yaitu problem tenaga produktif yang sangat lemah. tenaga kerjanya buta huruf, misalnya. Oleh karena itu untuk mengefisienkan bagi akumulasi kapital, pemerintah belanda menerapkan politik etis. Dengan politik etis pemerintah hindia belanda berharap agar tenaga-tenaga kerja bersentuhan dengan ilmu pengetahuan (meski tidak sepenuhnya) tekhnologi untuk menunjang produktivitas dan untuk perluasan lahan bagi kepentingan akumulasi modal. Mulai munculah sekolah-sekolah walaupun diskriminatif dalam penerimaaan siswanya.

Penerapan politik Etis ternyata menjadi bumerang bagi Belanda sendiri. Politik etis menumbuhkan kesadaran baru bagi rakyat-rakyat dengan tersosialisanya ilmu pengetahuan akhirnya mampu memahami kondisinya yang tertindas. Gerakan-gerakan modern untuk melawan penindasan mulai dikenal: mulailah dikenal organisasi terutama setelah partai-partai revolusioner di Belanda berkomitmen (merasa berkewajiban) membebaskan tanah jajahan. Seiring dengan ini mulailah dikenal mengenai sosialisme, kapitalisme, komunisme, dsb. yang selanjutnya sebagaimana yang kita ketahui dengan baik, rakyat mulai membangun perlawanan (berontak).

Dampak yang paling nyata dari adanya kapitalisme perkebunan dan adanya pendidikan, perlawanan rakyat Indonesia -- yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara modern, dan tidak berideologi -- telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif. Di mana-mana muncul secara massif dan menasional perlawanan rakyat yang terorganisasikan secara modern dan memiliki ideologi yang jelas.

Revolusi di Cina dibawah Sun Yat Sen, kebangkitan kaum terpelajar Turki dan Revolusi Rusia (Oktober 1917) memberi pengaruh pada kesadaran kaum terpelajar negeri jajahan. Tahun 1908 berdiri sebuah organisasi Pemuda Boedi Oetomo, yang juga ditandai sebagai hari kebangkitan nasional. Pada bulan Juli 1917 mengubah Organisasinya menjadi sebuah partai politik. Hal yang sama terjadi dengan Sarekat Islam (SI). Dari titik ini kepartaian di Indonesia di bagi dua yaitu yang berkoorperasi--masuk dalam sistem kolonial-- dan yang menolak masuk ke dalam sistem kolonial tersebut. Yang masuk dalam ketegori koorporasi ialah BU dan SI sedangkan kelak yang masuk kedalam kategori non-ko ialah PKI dan PNI.

Di dalam kongres SI di Yogyakarta terjadi perpecahan antara faksi revolusioner dengan ulama-ulama kolot feodal yang menolak SI bergabung dengan organisasi-organisasi dunia yang ada hubungannya dengan organisasi komunis internasional. Perpecahan ini mendorong faksi revolusioner untuk membangun sebuah wadah yaitu Partai Komunis -- partai komunis pertama di Asia--dalam sebuah kongres di Bandung, Maret 1923 yang menggariskan perbedaan secara prinsipil dengan SI yaitu partai komunis mengemban dan mengembangkan suatu kebudayaan revolusioner serta mengumandangkan pengertian dan kebebasan. Partai ini lahir ketika imperialisme di tanah jajahannya telah melahirkan kaum buruh dan sekaligus di dalam masyarakat yang masih mempertahankan sisa-sisa feodalisme. Sementara organisasi-organisasi lain tidak mampu membaca dan memanifestasikan kesadaran perlawanan rakyat.

PKI terus menjalankan politik radikalnya yang berujung pada pemberontakan pertama besar-besaran di Indonesia yang dipimpin oleh partai politik, pada akhir tahun 1926 sampai januari 1927, dan menolak penjajahan secara sangat serius.

Serikat buruh yang mula-mula berdiri adalah serikat buruh trem dan kereta api (VSTP) dengan markas di Semarang, berdiri 1918. Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal Semarang. Gerakan ini mencatat beberapa kesuksesan antara lain di bidang perserikatan buruh yang di mulai pada mei 1923.

Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.

Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju. Kekalahan gerakan pembebasan nasional tidak serta merta menyurutkan perjuangan. Posisi PKI di ambil alih oleh PNI yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927 dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan partai massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme.Dukungan yang luas atas PNI membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Akhirnya, pada tahun 1929 pimpinan PNI mengambil keputusan untuk membubarkan diri. Tapi aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.

Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan pembebasan tetap terjaga terus menerus. Sementara itu di Eropa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II adalah persaingan diantara negara-negara imperialis untuk memperebutkan pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis

4. REVOLUSI BORJUASI 1945

Pada tanggal 14 dan 16 Agustus 1945, Nagasaki dan Hiroshima di bom atom oleh tentara sekutu yang menyebabakan Jepang mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, maka terjadi kevakuaman kekuasaan di tanah-tanah jajahan pemerintahan fasis Jepang termasuk Indonesia sementara tentara Sekutu belum datang. Maka pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman kekuasaan. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.

Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional.Tampuk kekuasaan negara repulik Indonesia hanya pindah dari tangan para kolonialis-kapitalis ke tangan sisa-sisa feodalisme yang berhasil mentransformasikan diri menjadi borjuasi nasional (kapitalis local). Kekalahan start kaum radikal oleh borjuasi nasional dalam mengambil kepemimpinan politik untuk membentuk pemerintahan koalisi nasional kerakyatan dikarenakan penetrasi Amerika yang memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Hasil dari revolusi borjuasi secara umum adalah pemindahan kekuasaan dari tangan para kolonialis-kapitalis Hindia-Belanda ke tangan para borjuasi baru sipil dan militer.

Program politik untuk menuntaskan revolusi borjuasi nasional yang belum tuntas dan harus dilanjutkan dengan revolusi sosial menjadi pemikiran dan dijalankan oleh banyak kekuatan partai politik. Pada era demokrasi multi partai ini, terjalin sebuah kehidupan berbangsa yang demokratis karena keterlibatan partisipasi politik rakyat sangat besar di sini dan banyak-nya partai yang mempunyai orientasi yang pro-rakyat. Dalam masa damai era demokrasi multi partai ini, militer dan para pendukungnya tidak mampu berbuat banyak. Oleh karena itu, mereka sering melakukan sabotase ekonomi (lewat penyelundupan), ancaman kudeta, dan menciptakan pemberontakan separatisme, dengan tujuan untuk mengacaukan masa damai yang lebih menguntungkan kalangan sipil dan mayoritas rakyat. Kita catat misalnya dikepungnya Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952. Dalam usaha kudeta itu militer bekerja sama dengan bandit-bandit ekonomi-politik dalam negeri, beberapa kekuatan politik kanan, dan agen rahasia luar negeri seperti CIA-Amerika dan MI-6-Inggris.

Militer Indonesia yang di kuasai tentara reguler jebolan KNIL dan PETA hasil dari rasionalisasi dan restrukturisasi yang menyingkirkan laskar-laskar rakyat berhasil memperkuat basis ekonomi-nya melalui program banteng pada tahun 1957. Program in merupakan usaha “penciptaan” kelas borjuasi nasional (kapitalis lokal). Program ini juga berisi nasionalisasi besar-besaran aset swasta asing dan ex perusahaan Belanda dengan melibatkan pengusaha pribumi dan jenderal-jenderal militer (TNI). Program ini juga merupakan tonggak masuknya militer sebagai kapitalis dan munculnya pengusaha-pengusaha dari partai-partai politik. Sistem ekonomi Orde Lama juga masih berada disekitar jalur industrialisasi. Dalam situasi ini masih terdapat ilusi tentang tentara yang konstitu sional dan pro-rakyat. Salah tafsir ini mengingkari bahwa ABRI, yang cikal-bakalnya rakyat, telah dikooptasi oleh kaum reaksioner, ini membuktikan tentara mempunyai tendensi-tendensi akan kekuasaan politik. Tendensi ini makin nampak jelas ketika dimasukannya ABRI sebagai golongan fungsional, jadi dapat dipilih tanpa pemilu. Ini semua merupakan bentuk kongkrit dari penjabaran konsep Jalan Tengah dari Nasution, bahwa ABRI harus menjadi kekuatan sosial-politik. konsep ini yang kemudian dikembangkan oleh Jendral Suharto menjadi Dwi Fungsi ABRI.

Militer yang ingin berkuasa penuh secara politik dengan konsep jalan tengahnya dan mendapat perlawanan yang keras dari kekuatan buruh dan tani lewat PKI. Puncaknya meletuslah peristiwa 65 yang lebih kita kenal dengan G 30 S/PKI. Dan militer akhirnya mengkudeta Soekarno dan membantai massa dan simpatisan PKI dan Soekarno.

5. Orde Baru dan Kapitalis Bersenjata

Konsolidasi kapitalisme di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari scenario lembaga-lembaga sistem kapitalisme dunia seperti IMF dan World Bank. Kapitalisme dengan syarat-syarat kekuatan produktif yang rapuh dibidang teknologi serta kurangnya dana segar untuk modernisasi menjadikan penguasa Orba harus bergantung sepenuh-penuhnya pada kekuatan modal Internasional Jepang, Amerika, Inggris, Jerman, Taiwan, Hongkong, dll. Pengabdian Orba pada modal semakin membuktikan bahwa pada prinsipnya negara Orba dibawah kekuasaan yang dipimpin oleh Jendral Soeharto adalah ALAT KEPENTINGAN-KEPENTINGAN MODAL.

Pada tahapan awal konsolidasi kekuasaannya, Soeharto berhasil memanfaatkan pinjaman hutang luar negeri dan penanaman modal asing. Soeharto melahirkan orang kaya baru (OKB) dan tumbuhnya Kapitalis. Soeharto juga memberikan lisensi penuh kepada sekutu dan kerabatnya untuk monopoli Export-import, penguasaan HPH dan perkebunan-perkebunan kepada yayasan-yayasan Angkatan Darat. Sehingga seluruh aset ekonomi kekayaan negara dikuasai oleh kroni-kroni Soeharto. Dan Rezim Orba ini juga menggunakan kekuatan militernya untuk merefresif, membungkam dan meredam kekritisan dan protes dari rakyat. Senjatanya yaitu Dwi Fungsi ABRI dengan manifestasinya yaitu kodam, kodim, korem, koramil, babinsa/binmas. Juga badan extra yudisialnya seperti BIA, BAIS,dll.

Pada masa kekuasaan Rezim Orba ada beberapa perlawanan rakyat, tetapi organisasi perlawanannya lemah sehingga dapat dipukul dengan mudah seperti kasus Aceh, Tanjung Priuk, Lampung,dll. Di Gerakan Mahasiswanya sendiri Rezom Orba mengeluarkan kebijakan NKK/BKK yang jelas-jelas sangat meredam kekritisan mahasiswa, dan membuat mahasiswa jadi sulit untuk merespon kondisi masyarakat Indonesia.

Pada tahun 1997 terjadi krisis yang melanda dunia. Krisis ini diakibatkan oleh over produksi yang menyebabkan pengembalian modal mengalami kesulitan. Dampak dari krisis Global ini sangat berpengaruh sekali pada negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Ditambah lagi dengan jatuh temponya hutang luar negeri. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia awal dari keruntuhan Rezim Orba.

Runtuhnya Orba yang dimulai dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi tersebut adalah naiknya harga sembako. Sehingga terjadi pergolakan dimana-mana yang menuntut diturunkannya harga sembako. Gerakan Mahasiswa yang selama ini vakum mulai bangkit melawan Rezim otoriter Soeharto. Tuntutan Mahasiswa dan Rakyat yang tadinya mengangkat isu-isu ekonomis meningkat menjadi isu-isu politis.

Pada tahun 1998 Gerakan Mahasiswa dan Rakyat berhasil melengserkan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Soeharto digantikan oleh Habibie yang masih anak didiknya. Habibie hanya setahun berkuasa di Indonesia. GusDur naik sebagai Presiden RI dan Mega sebagai wakilnya melalui Pemilu 1999 yang katanya demokratis.

6. Indonesia dalam alam Neo Liberalisme.

Neo liberalisme adalah salah satu bentuk baru kapitalisme. Jurus neolib ini dilahirkan oleh kapitalisme Internasional dikarenakan pada saat itu dunia sedang mengalami krisis global. Persaingan pasar bebas menurut kapitalisme Internasional adalah jawabannya. Sehingga kesepakatan WTO pada November 1999 di Seattle Amerika adalah tahun 2003 sebagai tahun diberlakukannya pasar bebas di Indonesia. Dampak dari pasar bebas di Indonesia ini akan mematikan perekonomian rakyat kecil di Nidonesia. Karena produksi Indonesia belum mampu bersaing dengan produksi luar negeri, karena keterbatasan teknologi.

Rezim Mega-Hamzah yang saat ini memimpin Indonesia ternyata tidak mampu berbuat banyak untuk menolak Neolib ini. Karena pemerintahan GusDur-Mega masih sangat bergantung pada pinjaman hutang luar negeri terutama IMF dan World Bank.

Sementara rakyat Indonesia menuntut kepada Rezim yang baru naik, yang katanya mendapat legitimasi dari rakyat untuk menuntaskan agenda-agenda Reformasi total, yang beberapa pointnya yaitu pemberantasan KKN, pemulihan ekonomi, cabut dwi Fungsi TNI/Polri(ABRI), Pengadilan Soeharto & kroninya serta sita asset-aset kekayaannya untuk subsidi kebutuhan rakyat. Dan sampai saat ini Rezim Mega-Hamzah belum mampu. Bahkan pemerintahan Mega-Hamzah membuat konsesi dengan sisa kekuatan lama (sisa Orba dan militer). Inilah yang membuat terhambatnya proses demikratisasi di Indonesia. Rezim yang diharapkan rakyat banyak juga menggunakan militer sebagai pendukung kekuasaannya. Ini terbukti bahwa Rezim Mega-Hamzah sama saja dengan rezim Orba. Bahkan militer berkali-kali mencoba ingin berkuasa kembali di Indonesia dengan mengeluarkan jurus pamungkasnya yaitu RUU PKB, dll (terakhir mereka mencoba untuk mengaburkan tuntutan pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri dengan isu TNI/POLRI mempunyai hak untuk memilih dan dipilih lewat Pemilu), dan ini justru didukung oleh Rezim. Ini berarti mereka memberi peluang untuk terjadinya kembali praktek-praktek militerisme di Indonesia.

7. Hal-hal yang harus kita lakukan untuk merubah Indonesia.

Untuk merubah Indoneisa, kembali kepada cita-cita kemerdekaan rakyat Indonesia yang sesungguhnya, yaitu membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur. Kita harus menghancurkan dulu sistem kapitalisme yang sangat menindas tehadap hak-hak kaum pekerja yang menjadi mayoritas dari rakyat Indonesia. Kita harus membangun Organisasi-organisasi perlawanan rakyat untuk menentang segala macam system yang tidak berpihak pada rakyat. Dan kita juga harus mampu mempelopori membentuk system yang berpihak kepada rakyat. Sistem yang berpihak kepada rakyat yaitu system Demokrasi Kerakyatan. Kita harus merebut demokrasi sejati, untuk itu kita harus mentaskan revolusi demokratik di Indonesia. Kita harus menegakkan demokrasi sepenuhnya di Indonesia. Demokrasi Tanpa Penindasan.

Pustaka: diddapat dari berbagai sumber tanpa ada referensi yang jelas, semoga bermanfaat.