"Welcome in the Revolution"

selamat datang bagi siapa saja yang mengujungi blog ini, terbuka untuk siapa saja. kritik dan Saran Layangkan ke : (arfa_revolusi@yahoo.co.id). thanks....
Saiya bukan Dewa, apalagi Tuhan, jadi Hujat dan kritik saya!!

Thursday, July 3, 2008

Pajak untuk Rakyat atau Pajak yang Merakyat?

Sosialisasi yang kian gencar dilakukan oleh direktorat jendral pajak indonesia bisa kita lihat dimana-mana. Mulai dari iklan elektronik maupun sosialisasi terjun ke lembaga-lembaga pendidikan kampus. Sekedar mengingat tentang iklan dari Dirjen Pajak dengan motto “Apa kata dunia??” sebuah iklan yang menyesatkan dan kalau kita menganalisis secara cermat tidak ada logisme antara Pajak dan motto tersebut. Apa hubungannya antara membayar pajak dan perkataan dunia. Namun tulisan ini bukan mengkaji permasalahan iklan tersebut, hanya selayang pandang atas penggunaan bahasa dalam iklan yang akhir-akhir ini semakin menyesatkan dan tidak mendidik.

Pajak untuk Rakyat. Kata ini tepat digunakan untuk mengkaji secara fungsional dan struktural mengapa diciptakannya pajak di sebuah negara. Pajak didapatkan dari sistem perekonomian yang diciptakan oleh suatu negara dengan fungsi untuk mensejahterakan rakyat, baik itu berupa pembangunan fisik maupun non fisik. Secara garis besar pajak juga berfungsi sebagai pendapatan negara yang nantinya juga diperlukan untuk subsidi di setiap bidang yang diperlukan dalam suatu negara. Di Indonesia secara signifikan masyarakat belum dapat merasakan manfaat pajak itu untuk apa? Dan lebih parah lagi banyak yang menanyakan sebenarnya pajak itu berguna atau tidak. Ini disebabkan kurangnya pengetahuan mengenai pajak dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perpajakan di Indonesia sendiri. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpercayaan nantinya akan menimbulkan ketidaksadaran maupun acuh tak acuh akan pajak tersebut. Ketidakpercayaan ini disebabkan oleh sifat-sifat manusia sendiri akan sebuah pandangan mengenai objek yang dilihatnya, seperti misalnya manusia tidak percaya akan sebuah bahaya merokok karena manusia (konsumen rokok) belum merasakan dampak dari bahaya nikotin yang langsung dirasakan, atau misalnya manusia yang terkena paku dikakinya lantas dia berkata “aduh” merasakan sakit bukan kepalang, yang kemudian manusia tersebut akan lebih berhati-hati dalam berjalan dengan menggunakan alas kaki. Ilustrasi diatas secara esensi mengemukakan bahwa untuk mencapai kesadaran akan sesuatu hal, manusia harus merasakan sendiri baik berbentuk pengalaman, pencarian (keingintahuan) ataupun secara reflektif. Dalam konteks pajak, dimana pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang sadar akan pajak, perlu adanya kesadaran yang mendorong seseorang untuk membayar pajak, baik itu dorongan dari pemerintah sendiri dan juga manusianya itu sendiri. Perlu adanya penekanan bahwa pajak dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk kepentingan rakyat. Mengapa demikian, karena paradigma kepentingan rakyat cenderung bersifat suatu golongan atau kelompok, berbeda jika itu “untuk rakyat” kata ini cenderung bersifat universal dan menyeluruh. Ini sangatlah penting untuk menciptakan kesadaran pajak di masyarakat, memang ini hanya permasalahan teks bahasa namun hal ini juga merupakan suatu pola-pola untuk merubah paradigma yang muncul di masyarakat dewasa ini.

Pajak yang Merakyat. Seperti yang kita rasakan pajak di Indonesia merakyat sekali, hal ini dimaksudkan adalah pajak di Indonesia hampir di setiap sektor kehidupan tidak luput dari perpajakan. Dari dalam kandungan hingga seseorang nantinya meninggal dunia bisa dikatakan diselimuti pajak dalam kehidupannya. Dimulai dari biaya rumah bersalin dan perawatan yang terkena pajak maupun nantinya jika seseorang meninggal dunia baik proses pemakaman dan penggunaan lahan untuk makam. Yang lebih anehnya lagi adalah pajak 10% atupun lebih untuk setiap makanan, tempat hiburan, tempat makan, dll, yang dibebankan kepada konsumen. Jika kita kritisi terasa aneh mengapa hal tersebut dibebankan kepada konsumen tidak dibebankan saja kepada perusahaan yang mengelolanya. Sebagai ilustrasi “ seseorang yang makan di sebuah kafe yang dikenakan pajak 10% dengan rincian biaya makanan Rp. 50.000 dan pajak 10% dari 50.000 = 5000, jadi dia harus membayar Rp. 55.000 pada kafe tersebut. Mengapa harus dibebankan kepada konsumen pajak tersebut, toh yang di untungkan adalah kafe, seharusnya pemerintah mebebankan saja kepada kafe tersebut. Memang dalam sistem perpajakan kita adanya 2 batasan pajak, yaitu pajak daerah dan pajak pusat (nasional). Namun mengapa beban pajak yang dirasakan masyarakat secara tidak disadari ada dimana-mana. Seharusnya ada batasan-batasan yang jelas antara pajak individu dan pajak perusahaaan, karena beban yang dirasakan oleh individu oleh pajak sangatlah banyak, pajak pendapatan, pajak izin mendirikan bangunan (IMB), pajak tanah, pajak tahunan, pajak kendaraan bermotor, dll. Sangat banyak dan merakyat! Batasan pajak konsumen seharusnya di prioritaskan hanya kepada produsen ataupun perusahaannya saja. Karena pajak yang merakyat dan memiliki kecenderungan tumpang tidih memiliki aspek negatif bagi masyrakat sendiri.

Modernisasi Perpajakan. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh dirjen pajak mengemukakan adanya sebuah modernisasi secara struktural, perubahan yang diciptakan adalah sentralisasi pembayaran pajak, dan dengan munculnya respensitatif yang disediakan oleh perpajakan. Memang ini merupakan suatu kemajuan biokrasi di perpajakan yang dulunya sangat berbelit-belit. Adanya pajak online juga sangat membantu dalam mempermudah registrasi NPWP dan info-info pajak lainnya. Namun menurut pendapat penulis, modernisasi bukan hanya pada permasalahan material saja namun hal-hal non material juga harus di ubah. Secara fungsional tugas Dirjen pajak hanya sebatas mengumpulkan biaya untuk anggaran pemerintah, namun secara detail kemana biaya dikeluarkan dan kegunaannya untuk apa, perpajakan tidak mengetahuinya. Karena adanya departemen anggaran dan lain sebagainnya. Seharusnya perpajakan dalam modernisasi perpajakan perlu adanya wewenang yang lebih dari hanya mengumpulkan pajak sendiri, memang cukup sulit. Ini diperlukan untuk sosialisasi yang genjar dilakukan oleh perpajakan, sosialisasi bukan hanya bagaimana menumbuhkan kesadaran tapi ada feedback dari perpajakan dengan pengetahuan alokasi secara detail kemana pajak tersebut dikucurkan. Sebenarnya ini sangatlah penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pajak. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa pajak memang untuk rakyat, dan janganlah pajak saja yang merakyat!

Opinion : Muzaiin Arfa Satria, setelah mengikuti seminar sosialisasi Perpajakan yang bertempat di Auditorium Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta

Wednesday, July 2, 2008

Asal-Usul dan Sejarah Suku Anak Dalam Jambi

Oleh : Muzaiin Arfa Satria


1. Sebutan Diri

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Dalam percakapan antar warga masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)

Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)

2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)

Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga keturunan:

  1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
  2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
  3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kawin Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kawin”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkawinan itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.

Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)

Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.

Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).

Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.

Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.

Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo, April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.

Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.

Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang ada di Semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.

Daftar Pustaka :

Depsos RI. 1990, Data dan Informasi Pemberdayaan Masyarakat Terasing. Jakarta

________. 1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing, Jakarta.

Dongen, C.J. Van. Tanpa Tahun, Orang Kubu (Suku Kubu), Arsip Museum Provinsi Jambi, Jambi.

Manurung, Butet. 2007, Sokola Rimba, Insist Press, Yogyakarta

Muchlas, Munawir. 1975, Sedikit Tentang Kehidupan Suku Anak Dalam ( Orang Kubu) di Provinsi Jambi, Kanwil Depsos Provinsi Jambi, Jambi

Ruliyanto, Agung. 2002, Majalah Tempo 18 April 2002, Jakarta

Soetomo, Muntholib, 1995, Orang Rimbo : Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing Di Makekal Provinsi Jambi, Universitas Padjajaran, Bandung.